Bule Depok Yang di Lupakan

Bule Depok Yang di Lupakan

Ada banyak sejarah yang terlupakan terkait dengan istilah “Belanda Depok” atau “bule Depok.” Diterjemahkan secara harfiah, Belanda adalah Belanda, Depok adalah kota di Jawa Barat dan bule adalah bahasa gaul untuk orang asing berkulit putih.

Namun istilah ini membingungkan. Orang Belanda Depok bukanlah orang Belanda yang bermukim di Depok, melainkan orang Indonesia yang nenek moyangnya pernah bekerja sebagai budak Belanda pada masa penjajahan.

Istilah ini awalnya berkonotasi negatif, digunakan oleh orang Indonesia untuk menyebut rekan senegaranya sebagai pengkhianat karena bekerja untuk Belanda.

Namun seiring berjalannya waktu, makna Belanda Depok telah berkembang. Saat ini, kata tersebut digunakan untuk merujuk pada orang Indonesia yang mewarnai rambutnya menjadi pirang dan memakai gaya Barat.
Bisa juga secara sederhana merujuk pada keturunan budak yang masih tinggal di kawasan Depok hingga saat ini.
“Lihatlah kami. Apakah kami benar-benar terlihat seperti orang Belanda?” kata Yano Jonathans.

Yano, pensiunan insinyur kelistrikan, merupakan generasi keenam keturunan asli Belanda Depok.

Bersama istrinya Yulia R. Jonathans Leander, mereka aktif mengkampanyekan agar Belanda Depok diakui dalam sejarah Indonesia.

“Masyarakat harus mengakui peran Belanda Depok dalam membangun Kota Depok,” kata Yano.
Dia menjelaskan, Belanda Depok selalu disalahpahami. “Secara historis, kami sering dipandang sebagai orang jahat,” katanya.

Istilah Belanda dan bule Depok mulai digunakan setelah pemerintah Belanda mendirikan sistem kereta api pertama yang melintasi rute Jakarta dan Bogor pada tahun 1887.

Menurut Yano, kereta akan berhenti di Stasiun Depok untuk mengambil penumpang.

Di dalam kereta, para penumpang WNI dari Depok akan fasih berbahasa Belanda satu sama lain. Orang Indonesia lain yang menyaksikan hal ini mulai menjuluki mereka Belanda Depok.

Sejak saat itu, istilah tersebut telah digunakan secara luas dan disalahgunakan.

Yulia mengatakan, masih banyak masyarakat yang salah mengira bule Depok adalah orang Belanda. “Sebenarnya

Belanda Depok itu orang Indonesia. Saya keturunan Bali dan Jawa.”

Sejarah di balik istilah ini sangat menarik. Pada akhir abad ke-17, Cornelis Chastelein, seorang pejabat tinggi dan pengusaha Belanda, membeli sebuah peternakan besar di Depok.

Ia membawa 150 budak dari berbagai tempat seperti Jawa, Bali, Sulawesi, dan Maluku untuk menggarap lahan pertaniannya. “Budak-budak itulah yang kemudian disebut Belanda Depok,” kata Yano.

Semasa hidupnya, Chastelein aktif menyebarkan agama Kristen di Depok melalui organisasi Kristennya De Eerste Protestante Organisatie van Christenen (Organisasi Kristen Protestan Pertama) yang dikenal juga dengan nama Depoc.

Banyak yang percaya bahwa kota ini dinamai organisasi ini.

Sebagai seorang Kristen yang taat, Yano mengatakan bahwa Chastelein memperlakukan budaknya lebih baik dibandingkan kebanyakan tuan tanah Belanda. Ia mendidik mereka dan mengajari mereka berbicara bahasa Belanda.

Karena itu, Yano menyebut para budak Chastelein kerap dicap sebagai pekerja atau mata-mata pemerintah Belanda. “Menjadi Belanda Depok tidak selalu mudah,” ujarnya.

Memang benar, sebagian besar sejarah mereka terbaca seperti kisah Perjanjian Lama. Pada tahun 1713, setahun sebelum Chastelein meninggal, dia membuat ketentuan dalam surat wasiatnya yang memberikan kebebasan kepada mereka.

Para budak yang masuk Kristen juga akan mewarisi tanahnya. Budak Kristen dibagi menjadi 12 klan: Bacas, Isakh, Jacob, Jonathans, Joseph, Laurens, Leander, Loen, Samuel, Soedira, Tholense dan Zadokh.

Namun ketidakpercayaan tetap ada. Yano mengatakan, banyak warga Belanda Depok yang dipenjarakan atau dibunuh oleh pejuang gerilya Indonesia antara tahun 1945-50 karena dicurigai bekerja untuk Belanda. Meski masyarakat Belanda Depok modern sudah berasimilasi dengan masyarakat tempat mereka tinggal, namun banyak di antara mereka yang memilih pernikahan antar marga. Yano dan Yulia adalah contohnya.

“Saya dari marga Leander dan menikah dengan salah satu marga Jonathans, jadi saya menggunakan kedua nama tersebut,” kata Yulia.

Menurut Lembaga Cornelis Chastelein (Yayasan Cornelis Chastelein) – sebuah yayasan yang bekerja untuk melindungi kepentingan dan aset masyarakat Belanda Depok – terdapat lebih dari 7.000 keturunan di Indonesia dan luar negeri.

Dari 12 marga, hanya marga Zodakh yang sudah tidak ada lagi.

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, sebagian besar tanah marga diambil alih oleh pemerintah.
Belanda Depok berhasil mempertahankan tempat tinggal pribadi dan fasilitas komunitasnya.

Saat ini, sulit untuk menentukan dengan tepat lokasi asli tempat mereka dulu tinggal, karena kota tersebut telah tertelan oleh pesatnya urbanisasi dan populasi kota yang berjumlah 1,3 juta jiwa.

Jalan Pemuda mungkin menjadi tempat terakhir ditemukannya bangunan-bangunan yang dibangun oleh Chastelein. Beberapa orang Belanda Depok, seperti Yano dan Yulia, masih tinggal di sana.
Yayasan Cornelis Chastelein memelihara beberapa fasilitas di kawasan tersebut, antara lain kantor, gereja, pemakaman, dan sekolah.

Gereja Immanuel yang ikonik adalah tempat Chastelein mempraktikkan dan menyebarkan agama Kristen. Dengan menara tinggi dan fasad berwarna putih, gereja ini menampilkan gaya Belanda yang umum pada saat itu.
“Belanda Depok sebenarnya orang pertama yang membangun Depok,” kata Vence Turalakey, kepala sekolah SMA Pemuda yang dikelola yayasan tersebut.

“Jauh sebelum orang lain datang ke Depok, mereka sudah ada di sini.”

Vence juga mencontohkan, keturunan Belanda, Depok, pertama kali memerintah kota ini jauh sebelum kemerdekaan. Pada tahun 1871, Belanda memberi mereka otonomi untuk memerintah Depok secara mandiri.
Rumah yang pernah digunakan oleh Presiden Depok – sistem pemerintahan di daerah itu pada tahun 1800-an – masih bisa ditemukan di Jalan Pemuda.

“Saya merasa sangat bangga bisa berada di kawasan yang sangat bersejarah setiap hari,” kata Gloria Angel Stevani, siswa SMA Pemuda.

“Belanda Depok mempunyai peran yang sangat penting dalam sejarah Depok dan Indonesia, saya rasa generasi muda Indonesia harus tahu lebih banyak tentang hal itu.”

“Sangat disayangkan banyak anak muda di Depok yang tidak mengetahui cerita ini,” kata Samantha Oktaviana, yang bersekolah di sekolah yang sama.

Yano dan Yulia berupaya mengedukasi masyarakat.

Dengan bantuan seorang pejabat tinggi yang tidak disebutkan namanya di Belanda, Yano akhirnya bisa menerbitkan bukunya yang berjudul “Depok Tempo Doeloe” (“Depok di Masa Lalu”) pada tahun 2011, yang menelusuri asal mula kota tersebut.

Jika terserah Yano, ia bahkan akan mengubah hari jadi resmi Kota Depok dari 20 April 1999—saat resmi diakui sebagai kota—menjadi tanggal 12 marga diberikan kepemilikan tanah oleh Chastelein.
Ia juga melobi pemerintah untuk mendeklarasikan kawasan Pemuda sebagai pusat cagar budaya seperti Kota Tua (Kota Tua) Jakarta.

Yulia mengatakan, pertemuan-pertemuan informal kerap diadakan oleh Yayasan Chastelein untuk menjaga agar Belanda Depok tetap bersatu dan sadar akan asal usulnya.

Bahkan dengan kampanye mereka untuk mendapatkan pengakuan yang lebih besar, Yulia ingin masyarakat menyadari fakta ini: “Meskipun nama kami terdengar Belanda, kami sepenuhnya orang Indonesia.”

Artikel ini sebelumnya telah diterbitkan di The Jakarta Globe

Penulis: Tasa Nugraza